Jumat, 18 Februari 2011

Asuransi dan Sertifikasi Kematian

Asuransi adalah suatu sistem perlindungan terhadap suatu risiko kerugian pada individu dengan cara mendistribusikan atau membagi beban kerugian tersebut kepada individu-individu lain dalam jumlah besar sesuai dengan law of averages. Peserta asuransi tersebut berkewajiban membayar sejumlah premi dan konsekuensinya ia berhak memperoleh kompensasi sejumlah tertentu yang diperjanjikan dalam polis apabila ia terkena risiko yang dipertanggungkan.

Pada asuransi kematian, calon peserta diminta untuk memasukkan data kesehatannya, dengan atau tanpa pemeriksaan kesehatan sebelumnya, yang akan dijadikan data awal kesehatan calon peserta. Polis suatu asuransi umumnya memberlakukan ketentuan tertentu sebagai persyaratan, pembatasan dan pengecualian pertanggungan. Dalam penyelesaian klaim asuransi kematian terdapat 3 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu
(1) adanya penutupan polis asuransi kematian bagi tertanggung
(2) meninggalnya si tertanggung
(3) bukti bahwa benar tertanggung telah meninggal.
Untuk point 2 dan 3 mengenai meninggalnya tertanggung sangatlah erat kaitannya dengan keberadaan sertifikasi kematian.
           
Menjadi tanggung jawab dari seorang dokter dalam menyatakan kematian dan waktu seseorang tersebut kapan meninggal, dilaporkan dalam bagian medis sertifikasi kematian. Bagian dari sertifikasi kematian ini adalah
1.        Tanggal dan waktu dinyatakannya meninggal
2.        Cause of death yang termasuk penyebab kematian dan cara kematian
3.        Item injury untuk kasus yang melibatkan cedera
4.        Sertifikasi dengan disertai tandatangan

Sertifikasi kematian sangat penting dan dibutuhkan dalam klaim asuransi. Penyebab dan cara kematian menjadi satu point yang dapat menjadi persyaratan dalam penyelesaian klaim tersebut. Fakta menunjukkan bahwa sertifikat kematian cukup mudah diperoleh oleh karena tidak adanya ketentuan di Indonesia yang mengatur tentang kewajiban pemeriksaan jenasah untuk kepentingan sertifikasi kematian dan tidak adanya lembaga khusus yang berwenang menerbitkan sertifikat kematian. Dengan demikian, sertifikat kematian dapat diperoleh tanpa harus melalui pemeriksaan jenasah, bahkan tanpa harus diketahui penyebab kematiannya ataupun pemastian identitas si mati. Tanpa diketahuinya penyebab dan cara kematian seseorang serta peraturan yang tidak jelas dalam mengatur sertifikasi ini, menimbulkan Fraud atau abuse klaim asuransi kematian.

Fraud dalam asuransi adalah klaim asuransi dengan niat untuk menipu atau mengambil keuntungan dari perusahaan asuransi. Fakta Fraud di dalam asuransi kematian diduga merugikan hingga 9,6 milyar dollar per-tahunnya di Amerika Serikat. Hal ini dapat terjadi dikarenakan masih banyaknya celah-celah yang dapat ditembus dalam klaim asuransi kematian. Ketidakjujuran dalam mengisi data awal, cara kematian yang bukan persyaratan (pada asuransi kecelakaan), pemalsuan sebab kematian, pemalsuan ahli waris, dan pemalsuan identitas tertanggung merupakan celah-celah yang dapat menimbulkan fraud asuransi.

Fraud dan abuse asuransi dapat kita cegah dan kurangi, salah satunya dengan mengoptimalkan sertfikasi kematian seseorang. Pembuatan sertfikasi kematian yang sesuai fakta, dengan pengisian data yang tepat, tentu saja dapat mencegah adanya pemalsuan dalam klaim asuransi. Diperlukan suatu tindak tegas dari pemerintah untuk mengatur kembali pentingnya penggunaan sertifikasi kematian dengan penanggung jawab pengisi adalah seorang yang kompeten di bidangnya yaitu seorang dokter yang dapat memastikan kematian seseorang dan menduga penyebab kematian orang tersebut, bukan lagi dibuat oleh kepala desa setempat dengan pengisian data yang tidak lengkap dan kurang kompeten dibidangnya.
           

Sumber: Physicians’ handbook on Medical Certfication of Death

Kamis, 17 Februari 2011

Rapid Response Team Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam sebaran dan kuantitas bencana alam yang tinggi. Hal ini dikarenakan posisi geografis dari Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng dunia yaitu pertemuan antara lempeng Pasifik dan Indo_australia (Hindia) yang sangat berpotensi menimbulkan bencana geologi berupa gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Indonesia mempunyai 129 gunung berapi aktif dan menjadi salah satu yang terbanyak di dunia. Menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), selama bulan Januari 2010 sudah tercatat terjadi sekitar 100 gempa di atas 5 skala Richter. Oleh karena keadaan geografis dengan potensi bencana yang tinggi, Indonesia membutuhkan suatu system mitigasi bencana terpadu. Salah satunya adalah pembentukkan Rapid Response Team Indonesia yang dikenal dengan Satuan Reaksi Cepat-Penanggulangan Bencana (SRC-PB).

Sebagai professional disaster response team yang merupakan bagian dari paradigm pengurangan resiko bencana, SRC-PB akan bekerja dalam upaya tanggap darurat bencana dan rehabilitasi rekonstruksi pasca bencana. Satuan ini akan bertindak cepat tanggap darurat pada daerah yang terkena bencana berupa bantuan teknis, peralatan, maupun dukungan logistic terhadap bencana di luar kemampuan Pemda untuk menanganinya. SRC-PB dibentuk pada tingkat nasional yang merupakan gabungan dari berbagai lembaga dan instansi tingkat pusat sehingga dapat segera memberikan dukungan awal secara cepat dan tepat kepada daerah yang terkena bencana terutama pada periode panik.

 Rapid Response Team merupakan tim dengan anggota yang terdiri dari dokter umum, dokter Sp bedah, dokter Sp anestesi, perawat, tenaga DVI (Disaster Victims Identification), apoteker, surveillance epidemiologi, petugas komunikasi, dan sopir ambulan yang bergerak dalam waktu 0-24 jam setelah ada konfirmasi kejadian bencana. Sama dengan Rapid Response Team, SRC-PB segera dapat dikerahkan dalam hitungan jam setelah bencana terjadi setelah koordinasi dan komando dari BNPB. Sampai saat ini, baru terbentuk 2 unit tim yang terletak di pangkalan udara TNI Halim Perdana Kusuma untuk wilayah barat Indonesia dan di Lanud Abdul Rahman Saleh Jawa Timur untuk wilayah Indonesia bagian timur.

Secara keseluruhan tugas-tugas yang dilakukan SRC-PB pada wilayah bencana adalah melakukan pengkajian kerusakan dan kebutuhan secara tepat, pengendalian situasi darurat bencana termasuk pembuka jalan, melakukan pencarian disertai penyelamatan dan evakuasi, memberikan pelayanan kesehatan bagi pengungsi, menyalurkan bantuan logistic dari titik penerimaan sampai pada titik sasaran, pemulihan fungsi sarana dan prasarana vital di daerah bencana, mengatur bantuan dan relawan baik dari dalam maupun luar negeri, dan mengkoordinasikan dukungan pusat sesuai tugas instansi terkait. Tidak lupa SRC-PB juga sedah seharusnya melakukan pelatihan pada penduduk sekitar bencana sehingga kemampuan pengungsi bertambah dan pemantauna daerah bencana alam lebih mudah terjangkau dengan bantuan dari penduduk sekitar. Tim bentukan masyarakat ini nantinya akan banyak membantu mengatasi kebencanaan mengingat keadaan geografis dan luasnya negeri Indonesia.


Sumber: BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)

Rabu, 16 Februari 2011

Pengantar Persiapan Epidemik / KLB

Epidemik merupakan wabah atau munculnya penyakit tertentu yang berasal dari satu sumber tunggal,dalam satu kelompok, populasi, masyarakat, atau wilayah yang melebihi tingkatan kebiasaan yang diperkirakan. Sedangkan KLB adalah bagian dari epidemik, menurut UU no.4 tahun 1984 merupakan timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis, pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Indonesia sebagai negara dengan potensi penyakit menular yang tinggi, menjadi kawasan  berpotensi dalam terjadinya KLB. Memang, hal ini bukan lagi hal baru di Indonesia, karena angka kejadian yang sangat tinggi dan sering terjadi terutama pada lingkungan daerah yang tidak terawat. Terdapat beberapa penyakit yang sangat potensial dalam menimbulkan wabah di Indonesia seperti kolera, diare, disentri, demam berdarah, rabies, tifus, malaria, dan beberapa penyakit menular lainnya.  

Keputusan Dirjen PPM&PLP No. 451-I/PD.03.04/1999 tentang Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan KLB telah menetapkan kriteria kerja KLB yaitu :
1. Timbulnya suatu penyakit/menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian/kematian > 2 kali dibandingkan dengan periode sebelumnya.
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan >2 kali bila dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya
5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikkan > 2 kali dibandingkan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya.
6. CFR suatu penyakit dalam satu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikkan 50 % atau lebih dibanding CFR periode sebelumnya.
7. Proporsional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikkan > 2 kali dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu/tahun sebelumnya.

Melihat kriteria di atas, sudah sewajarnya kita mempersiapkan dan berbenah diri dalam mengatasi situasi KLB ini. Ada beberapa kegiatan yang dapat kita lakukan dalam situasi terjadinya KLB berupa :
1.      Menetapkan terjadinya keadaan KLB
Perlu dilakukan penetapan apakah situasi tersebut benar KLB atau tidak, didasarkan dari criteria-kriteria di atas. Tindakan ini dimulai dari pengumpulan data, analisa data, dan penarikan kesimpulan yang cepat dan tepat.
2.      Melakukan Penyelidikan KLB
Lakukan penyelidikan terhadap factor-faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, ketahui asa sumber penularan, etiologi, dan sifat penularannya, sehingga penanganan KLB dapat segera dilakukan
3.      Melaksanakan Penanganan KLB
Penanganan KLB ditujukan kepada penderita, masyarakat, lingkungan, dan terhadap etiologi atau agent penyebab. Cara penanganan KLB dapat dimulai dari penanggulangan sumber pathogen dengan menginaktivasi pathogen, menjauhkan orang dari sumber pathogen maupun isolasi orang yang terinfeksi. Berikutnya dengan memutus rantai penularan sehingga tidak terjadi transmisi vector. Setelah itu dapat dilakukan modifikasi respon host seperti pemberian imunisasi maupun kemoterapi.
4.      Menetapkan berakhirnya KLB
Kapan dikatakan KLB berakhir sangatlah penting. Hal ini dilakukan dengan pengambilan pengumpulan data, analisa, dan menarik kesimpulan bahwa KLB telah berakhir.
5.      Pelaporan KLB
Dilakukan dengan laporan tertulis meliputi hasil dari kegiatan di atas beserta evaluasi kinerja dalam penanganan KLB yang trejadi. Pelaopran ini sangat penting untuk perencanaan program dan referensi dalam penanggulangan KLB jika terjadi kembali.

KLB memang merupakan kejadiaan akut, mendadak, dan darurat, namun hal ini bukanlah masalah baru bagi Indonesia. Sudah saatnya bagi tenaga kesehatan dan pemerintah untuk terus meningkatkan perencanaan dan penanganan lanjut mengenai KLB sehingga angka insidensi dan prevalensi KLB di Indonesia dapat menurun. Dengan program dan perencanaan yang baik, benar, dan terencana, KLB pasti dapat kita tangani bersama.

Sumber: Epidemiologi (Timmreck, T.C., 2004)
Perhimpunan Kesehatan Masyarakat Indonesia



Senin, 14 Februari 2011

Pengembangan Mutu Kesehatan Puskesmas

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang langsung memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada masyarakat dalam suatu wilayah kerja tertentu dalam bentuk-bentuk usaha kesehatan pokok (Azwar, 1990). Pelayanan langsung yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan, dan efisiensi pelaksanaan rujukan medis dan rujukan kesehatan secara terpadu serta peningkatan dan pemantapan manajemen pelayanan kesehatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,pengendalian, dan penilaian.

Pada dewasa ini, tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih baik sangatlah tinggi. Hal ini mengharuskan Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya untuk lebih mengembangkan diri terhadap secara tahap demi tahap sehingga mutu pelayanan kesehatan dapat mengikuti tuntutan masyarakat ini. Jikalau Puskesmas tidak mempersiapkan diri dalam upaya pengembangan mutu pelayanan, maka sarana pelayanan kesehatan ini akan dijauhi masyarakat dan masyarakat akan mencari sarana kesehatan alternative. Oleh karena itu, Puskesmas haruslah meningkatkan pelayanan secara terencana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat agar dapat terus berkembang.

Diperlukan suatu pedoman dalam pelatihan pengembangan mutu di Puskesmas, dalam bentuk suatu program jaminan mutu yang dinamakan Diklat Jaminan Mutu Puskesmas. Tahap-tahap program jaminan mutu ini adalah
1.      Tahap Analisis Sistem
Tahap ini merupakan tahap yang menelaah system pelayanan kesehatan dengan pengamatan terhadap sesama Puskesmas (Peer Review) dari beberapa puskesmas yang telah dilatih. Pengamatan yang dimaksud dapat berupa pengamatan pelayanan kesehatan puskesmas A menilai Puskesmas B, B terhadap C, dan seterusnya. Selanjtunya puskesmas yang bersangkutan akan menyusun perencanaan perbaikan mutu pelayanan kesehatan yang dianggap kurang dari penelaahan puskesmas lainnya.
2.      Tahap Supervisi
Tahap lanjutan dari tahap analisis system yang didasarkan pada supervise yang memonitor rencana kegiatan yang telah dibuat tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan atau tidak. Diharapkan dengan supervise ini, petugas kesehatan dapat terus menjaga mutu standart pelayanan kesehatan. Supervisi dilakukan oleh pimpinan puskesmas, maupun supervisor dari Dinkes kecamatan atau kabupaten setempat.
3.      Tahap Pendekatan Tim
Tahap yang didasarkan pada Team Based yang dilakukan saat adanya masalah-masalah kompleks dan untuk pemecahannya diperlukan kerja tim atau kelompok dengan kepemimpinan yang terarah.
4.      Pelatihan
Pelatihan yang dimaksud disini adalah pelatihan terhadap 3 tahap jaminan mutu di atas yang harus dilakukan oleh setiap puskesmas sehingga dapat menilai kekurangan pelayanan kesehatan pada dirinya dan dapat menilai kelebihan dan kekurangan puskesmas lain sehingga kelebihan yang ada dapat menjadi contoh dan panutan bagi puskesmas tersebut dalam pengembangan mutu pelayanan kesehatan.

Mutu memang tidak akan pernah dicapai dalam jangka waktu singkat. Pengembangan mutu sangatlah memerlukan waktu yang sangat bervariasi tergantung dari pada standar mutu yang diinginkan dan sumber daya manusia yang tersedia. Namun bukan berarti mutu tidak dapat dirubah dan ditingkatkan. Dengan suatu program dan metode yang kompeten, yang dapat mengkombinasikan teknik manajemen, ketrampilan teknik, dan pemanfaatan seluruh potensi sumber daya manusia yang ada di dalam Puskesmas, bukan mustahil mutu kesehatan Puskesmas Indonesia akan terus berkembang menjadi lebih baik dan kompeten.


Sumber: Diklat Jaminan Mutu Puskesmas

Sabtu, 12 Februari 2011

Sistem Pembiayaan Kesehatan Indonesia

Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu:
1.      Fee for Service ( Out of Pocket )
Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan, dimana pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK). PPK (dokter atau rumah sakit) mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan yang diterima.
Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem pembiayaan kesehatan secara Fee for Service ini. Dari laporan World Health Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih bergantung pada sistem, Fee for Service dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan sistem Fee for Service adalah terbukanya peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan hubungan Agency Relationship , dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa medik untuk pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien. Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan volume pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.

2.      Health Insurance
Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem health insurance ini dapat berupa system kapitasi dan system Diagnose Related Group (DRG system).
Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan per periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan system kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan dengan pembayaran di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu lembaga di Indonesia adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Masyarakat yang telah menajdi peserta akan membayar iuran dimuka untuk memperoleh pelayanan kesehatan paripurna dan berjenjang dengan pelayanan tingkat pertama sebagai ujung tombak yang memenuhi kebutuhan utama kesehatan dengan mutu terjaga dan biaya terjangkau.
Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan system kapitasi di atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan melihat diagnosis penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana yang berbeda pula tiap diagnosis penyakit. Jumlah dana yang diberikan ini, jika dapat dioptimalkan penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi pemasukan bagi PPK.
Kelemahan dari system Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization dimana dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, jika peserta tidak banyak bergabung dalam system ini, maka resiko kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun dibalik kelemahan, terdapat kelebihan system ini berupa PPK mendapat jaminan adanya pasien (captive market), mendapat kepastian dana di tiap awal periode waktu tertentu, PPK taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug dan multidiagnose. Dan system ini akan membuat PPK lebih kea rah preventif dan promotif kesehatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem kapitasi dinilai lebih efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan dibandingkan sistem pembayaran berdasarkan layanan (Fee for Service) yang selama ini berlaku. Namun, mengapa hal ini belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh Indonesia? Tentu saja masih ada hambatan dan tantangan, salah satunya adalah sistem kapitasi yang belum dapat memberikan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali seperti yang disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sampai saat ini, perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta asuransi dimana peserta dengan resiko penyakit tinggi dan atau kemampuan bayar rendah tidaklah menjadi target anggota asuransi. Untuk mencapai terjadinya pemerataan, dapat dilakukan universal coverage yang bersifat wajib dimana penduduk yang mempunyai resiko kesehatan rendah akan membantu mereka yang beresiko tinggi dan penduduk yang mempunyai kemampuan membayar lebih akan membantu mereka yang lemah dalam pembayaran. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi sistem kesehatan Indonesia.
Memang harus kita akui, bahwa tidak ada sistem kesehatan terutama dalam pembiayaan pelayanan kesehatan yang sempurna, setiap sistem yang ada pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun sistem pembayaran pelayanan kesehatan ini harus bergerak dengan pengawasan dan aturan dalam suatu sistem kesehatan yang komprehensif, yang dapat mengurangi dampak buruk bagi pemberi dan pencari pelayanan kesehatan sehingga dapat terwujud sistem yang lebih efektif dan efisien bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.

Sumber: World Health Organization 2009
JPKM


Kamis, 10 Februari 2011

Distribusi Dokter Umum dan Dokter Gigi Belum Merata di Indonesia

Sampai saat ini berapa jumlah dokter umum dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran belum didapatkan angka yang akurat. Sebagai konsekuensinya berapa produksi dokter dan dokter gigi yang harus dihasilkan institusi pendidikan masih sulit diprediksi. Demikian pula dengan distribusinya yang belum merata karena sebagian besar praktik dokter dan dokter gigi berkumpul di kota-kota besar. Dengan demikian target pencapaian ratio dokter umum: masyarakat sebesar 1:2500 dan dokter gigi : masyarakat sebesar 1:10000 di tahun 2010, masih jauh untuk bisa dicapai. Untuk dapat mencapai rasio yang ideal tersebut dibutuhkan 80.000 orang dokter umum, padahal menurut data IDI hingga Maret 2007, Indonesia baru memiliki sekitar 70.000 dokter yang terdiri dari 50.000 dokter umum dan 20.000 dokter spesialis. Sehingga masih dibutuhkan 30.000 dokter umum untuk dapat mencapai rasio ideal tersebut.

Penyediaan dokter umum bukan hanya mencakup soal kuantitas, namun juga mencakup distribusi yang merata dan kualitas dokter yang memenuhi standar kompetensi. Agar pemerataan pelayanan kesehatan dapat tercapai, dibutuhkan distribusi dokter yang merata. Sebagian besar dokter lebih memilih memberikan pelayanan kesehatan di kota-kota besar Indonesia. Hal ini menimbulkan dampak pelayanan kesehatan yang tidak optimal karena jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di daerah terpencil tidak memenuhi standart kebutuhan. Kota-kota besar memiliki banyak tenaga dokter umum sedangkan  daerah-daerah terpencil lain masih mengalami kesulitan dalam pengadaan dokter di daerah tersebut.

Upaya pemerataan dan penyediaan tenaga kesehatan sudah mulai diatasi dengan penambahan jumlah fakultas-fakultas kedokteran baru dengan penyebaran fakultas kedokteran di provinsi-provinsi Indonesia. Walaupun penyebaran ini belum mencakup semua provinsi di Indonesia, saat ini terdapat lebih dari 40 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia. Banyaknya fakultas kedokteran ini ternyata belum menjadi solusi tepat untuk menutup kemungkinan bahwa sebagian besar dokter akan berada di daerah perkotaan, untuk itu masih perlu dipikirkan suatu cara yang lebih efektif untuk mendorong proses pemerataan kesehatan, terutama di daerah terpencil.

Bagaimanakah cara efektif untuk permasalahan ini?

Untuk menyelesaikan permasalahan ini, menurut saya, kita harus kembali pada kebijakan pemerintah yang ada disesuaikan dengan kebutuhan para tenaga kerja kesehatan. Pemberian insentif contohnya, bila seorang dokter umum tidak mendapatkan insentif yang cukup untuk kehidupannya di daerah terpencil, tentu saja mereka enggan untuk bekerja di sana. Kebijakan PTT juga menjadi salah satu kendala dikarenakan tidak adanya reward pada dokter saat bekerja jauh dari fasilitas yang berbeda dengan fasilitas yang bisa didapatkannya di kota besar. Daerah pun seharusnya dapat memberikan beasiswa bagi putra-putri daerah terpilih dengan sistem ikatan dinas daerah sehingga setelah lulus, mereka dapat kembali dan memberikan pelayanan kesehatan pada daerahnya masing-masing. Dan tidak lupa dengan peran pemerintah pusat dan daerah untuk terus meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana kesehatan dan pengembangan daerah terpencil sehingga dapat menjadi daya tarik bagi tenaga kerja kesehatan.


Sumber: Rencana Strategis Konsil Kedokteran Indonesia 2005-2010

Selasa, 08 Februari 2011

Sistem Kesehatan Nasional yang Berpihak pada Rakyat Miskin

Mendengar judul di atas, inilah harapan seluruh masyarakat Indonesia akan suatu sistem kesehatan yang siap menjamah rakyat miskin yang dapat memberikan pelayanan serta pembangunan kesehatan yang merata di Indonesia.  Suatu sistem yang adil, yang dapat dirasakan tidak hanya bagi kaum kaya namun bagi rakyat miskin yang sama-sama memerlukan pelayanan kesehatan.

Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2009, Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945. Sistem Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (primary health care) yang meliputi:
1) Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata,
2) Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat,
3) Kebijakan pembangunan kesehatan, dan
4) Kepemimpinan

Menurut Dr. Azrul Azwar, seorang guru besar Kedokteran Komunita Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Kompas, 2009), “Sampai saat ini system kesehatan kita belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat miskin. Setidaknya ada enam syarat berupa memberikan bantuan biaya pengobatan bagi masyarakat miskin, membangun fasilitas kesehatan, memprioritaskan penanggulangan penyakit yang diderita masyarakat miskin, mealokasikan dana kesehatan bagi masyarakat miskin, melibatkan masyarakat dalam pembangunan kesehatan, dan menerapkan program kesehatan masyarakat non-personal. Dan keenam hal ini belum dilakukan oleh pemerintah secara benar,” menurut beliau.
           
Melihat peranan pemerintah akan sistem kesehatan, sebenarnya kita sudah mempunyai sistem kesehatan yang cukup baik namun masih sangat kurang dalam pelaksanaan sistem tersebut. Hal ini sesuai dengan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (primary health care), pada point 1-3 menjelaskan lebih lanjut mengenai sistem kesehatan nasional yang terbuka bagi seluruh rakyatnya tanpa memihak diikuti kebijakan pembangunan kesehatan yang merata di Indonesia. Menurut saya, ini suatu sistem kesehatan yang luar biasa baik. Namun bagaimana dengan pelaksanaannya?

Pemerintah sebenarnya sudah mengupayakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dengan program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) :suatu program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin tanpa biaya atau gratis. Suatu konsep yang baik namun tidak merata diterima oleh masyarakat miskin di Indonesia. Banyak yang memerlukan Jamkesmas tidak mendapatkannya, sedangkan yang sebenarnya tidak memerlukannya, mendapat bantuan Jamkesmas. Permasalahan lainnya, mengenai pemerataan pelayanan kesehatan. Inipun belum berjalan dengan baik, buktinya adalah menurut hasil survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 78 kabupaten di 17 provinsi di Indonesia tahun 2007, 30% dari 7.500 puskesmas di daerah terpencil tidak punya tenaga dokter. Sekitar 50 persen dari 364 puskesmas tidak punya dokter, 18 persen tanpa perawat, 12 persen tanpa bidan, 42 persen tanpa tenaga sanitarian, 64 persen tanpa tenaga gizi. Hal ini sangat menunjukkan tidak adanya pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia. Bagaimanakah  seharusnya?

Menurut saya, jawabannya terletak pada point 4 dari revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (primary health care) yaitu kepemimpinan. Indonesia tidak hanya memerlukan suatu konsep yang baik, namun memerlukan suatu kepemimpinan yang dapat mengatur dan menjalankan konsep-konsep baik tersebut. Kepemimpinan yang dapat menunjukkan komitmen politis yang kuat untuk mewujudkan sistem kesehatan nasional yang berpihak kepada rakyat miskin. Kepemimpinan yang dapat memperkuat pondasi program pelayanan kesehatan dengan sistem pembiayaan yang tepat bagi Indonesia, ditunjang dengan sumber daya manusia yang berkualitas serta kepemimpinan yang dapat meningkatkan peran masyarakat secara langsung dalam bidang kesehatan bukan untuk curatif namun dimulai dari preventif dan promotif kesehatan.


Sumber:  Sistem Kesehatan Nasional 2009